ALL, Art

Group Exhibition “REAL.IS.ME”

group-exhibition-real-is-me

REALISME YANG TAK KUNJUNG MATI
Penulis: Agus Noor

Tak berlebihan, sebagaimana sejarah juga telah membuktikan, sebagai satu “isme”, realisme telah mampu melampaui bermacam jaman. Satu hal yang membuat realisme selalu menantang dan merangsang untuk ditekuni, ialah karena “realisme sesungguhnya bukan hanya perkara tekhnis. Ia adalah cara pandang, bahkan dasar filosofis,” ketika kita mencoba memahami apa yang kita yakini sebagai realitas. Mario Vargas Llosa, penulis dari Peru itu memang sedang membicarakan realisme dalam prosa, tetapi apa yang dikatakannya itu sesungguhnya bisa berlaku secara umum untuk seni – terutama apa yang kerap disebut dengan “seni realis”.

Pada mulanya, setidaknya ketika mulai muncul dalam seni rupa sebagai “isme” pada pertengahan Abad 19, kisaran tahun 1850, dengan para pengusung seperti Gustave Courbet di Perancis, realisme lebih meyakini pada apa yang konkrit, lebih memilih fokus pada realitas fisik dari objek-objek, tanpa mengidealkan atau menyembunyikan aspek-aspek yang membuat realitas menjadi sesuatu yang ilusif. Realisme kemudian kerap dipahami sebagai upaya menangkap objek atau realitas untuk disalin ke dalam karya seni. Suatu kecenderungan awal realisme yang dianggap sebagai upaya menyalin realitas ke dalam bentuk dan gaya karya seni, yang dalam pandangan Erich Auerbach disebut sebagai “mimesis”, yakni “seni yang meniru alam”. Tentu saja, akar pandangan ini bersumbuh jauh pada gagasan filosofis Plato (427-347 SM). Tapi “mimesis” tak hanya semata soal peniruan, tetapi juga menyangkut upaya memahami keindahan dan kebenaran. Apa yang indah dan benar yang bisa dipahami sebagai realitas. Dalam prosesnya, realisme kemudian tak berhenti hanya sebagai peniruan, tetapi juga penuh kegelisahan pertanyaan, juga gugatan, seputar realisme. Dengan kata lain, realisme tak pernah madeg sebagai “isme” yang memberi peluang kreativitas. Meski pernah ada semacam kekhawatiran: realisme tak akan lagi aktual ketika fotografi ditemukan.

Ternyata tidak. Realisme, dengan segala, ide, gagasan dan filosofi yang menyertainya, membuat seni (rupa) realis terus menarik dan menantang dieksplorasi. Realisme bahkan kerap menjadi dasar tekhnis penciptaan beragam karya, misalkan mulai dari surealisme, realisme sosialis sampai hiper realisme. Pameran Real.Is,Me ini, setidaknya ingin memperlihatkan pelbagai kemungkinan yang bisa terus menerus dikembangkan dalam realisme.

Realisme tak hanya berhenti sebagai upaya menyalin, tetapi pada prosesnya juga juga sebuah menafsir: memilih dan memilah realitas yang akan direpresentasikan. Realisme juga menjadi cara menyampaikan gagasan. Inilah yang membuat realisme menjadi terus menarik sekaligus dinamis, karena ia
tak hanya berhenti hanya pada perkara tekhnis melukis “semirip dan sepersis mungkin”.

Pada perkembangannya, realisme tak hanya meniru atau menyalin alam, tak hanya berhenti sebagai upaya “menggambarkan” apa yang secara nyata tertangkap indera. Dalam pandangan rasionalisme, apa yang nyata dan tertangkap indera itu dinamai sebagai “realitas objektif”. Rasionalisme memang
kemudian ikut membentuk pemahaman seputar apa itu “realitas”, sebagai sesuatu yang secara objektif bisa dikenali, terukur dan teruji, atau segala sesuatu yang real.

Tapi apa itu “realitas”, selalu melahirkan banyak pertanyaan sekaligus keraguan. Disinilah, realisme sebagai cara pandang kemudian memunculkan berbagai gaya representasional. Karena sebagai ekspresi seni, realisme tidak hanya berhenti sebagai sebuah upaya “menggambarkan apa yang nyata atau
kenyataan” (realitas), karena dalam upaya menggambarkan kenyataan itu, selalu ada persepsi subjektif yang juga ikut “menafsir”. Selalu ada unsur subjektif dari apa yang coba dihadirkan secara objektif. Atau yang semula objektif bisa menjadi suatu ekspresi yang subjektif.

Dari situlah kita kemudian bisa mengerti, kenapa “seni realis” terus ditekuni oleh para seniman yang memilih realisme sebagai pilihan ekspresinya. Karena dalam realisme juga ada unsur subjektif yang kemudian bisa menjadi penanda atau ciri khas atau sesuatu yang otentik yang menjadi karakter seorang seniman. Saya kira, inilah yang membuat “realisme tak pernah mati”.

Pameran “Nganu di Sangkring”

REAL.IS.ME

Pameran oleh Sanggar Nganu di Sangkring ini menghadirkan para seniman yang menekuni mahzah realisme. Bagaimana realisme dikembangkan dengan beragam gaya, bisa dinikmati di pameran ini. Dari karya-karya Bambang Herras, Budi Ubrux, Josua Tobing, Mahdi Abdullah, Melodia, Sigit Santosa, Wasito Amnan S, Yuli Kodo, tampak betapa “realisme” terus dieksplorasi dan beragam gaya dan ungkapan artistik.

Pembukaan pameran 3 Mei 2025, pukul 16.00 di Sangkring Art Peoject. Dibuka oleh Rieke Diah Pitaloka. Penulis Agus Noor.

Pameran akan berlangsung 4-17 Mei 2025, setiap hari pukul 11.00 – 17.00, kecuali hari Minggu, dan hari Libur Nasional.

Silakan datang

E-Cataog Pameran REAL.IS.ME dapat didownload dibawah ini.

Share